Taraaa ... aku balik lagi. Kali ini bawa lanjutan cerita
Kampus Fiksi kemarin yang masih secuil.
Nah,
setelah kemarin praktek menulis, sekarang giliran evaluasi cerpen bareng
mentor. Just info kemarin waktu
praktek menulis aku sekelompok dengan Mbak Indiana, Frida, dan Tyas (eh apa
Ismi ya, duh lupa ... sama-sama orang Bandung sih). Mentornya itu Mbak Nisrina
Lubis, mbak editor yang selalu pakai kethu
(bahasa lainnya apa, ya?) di atas jilbabnya.
Waktu
itu aku menulis cerpen berjudul “Pengkor”. Sebenarnya sih agak enggak nyambung
dengan isi cerita tapi apa boleh buat daripada tulisanku tak berkepala. Hehe.
Cerpen berkisah tentang seorang anak yang terlahir cacat (bisu dan pincang). Menurut
orang-orang itu gegara waktu dalam kandungan, bapaknya menganiaya dan membuang
kucing dalam karung. Ya, pokoknya gitu-gitu deh.
Mau tahu
apa komentar Mbak Rina? Cerpenku konfliknya datar dan ada beberapa bagian yang
harusnya jadi twist malah dijabarkan. Dududu ... lagi-lagi lemah dalam konflik.
Dan apapula itu soal twist, aku masih emm ... melambaikan tangan.
Tapi,
mau bagaiamanapun komentarnya aku tetap merasa senang. Tambah semangat untuk terus-terus
dan terus menulis.
Yap,
sekarang lanjut ke sesi berikutnya yaitu sharing
proses kreatif oleh Mbak Mini GK. Asli, penulis Pameran Patah Hati ini kocak,
enggak ngebosenin, dan bikin ketawa mulu (eh, sama aja ya). Pokoknya satu jam
enggak kerasa deh. Ya meski banyakan promo novel barunya yang di kusebut di
awal itu, tapi beneran asyik. FYI, Mbak Mini GK ini juga alumni #KF dan penulis
4 novel. Keren, ih! Semoga saja aku bisa seperti dirimu, Mbak Mini. J
Lanjutnya,
nih, ada keredaksian dari Mbak Munnal. Materinya seputar tata cara mengrimkan
naskah ke Penerbit DIVA Press. Misalnya mengenai apa saja yang wajib dilengkapi
ketika mengirim naskah, jumlah halaman dan format tulisan, kode naskah juga
tentang MoU. Pokoknya banyak deh, kalau ditulis satu-satu ya keriting jariku.
Kebetulan catok jari lagi rusak, hehe.
Jadi,
lanjut saja ya? Yang berikutnya ada pengetahuan pasar buku oleh Pak Aconk.
Terus ... nah ini yang paling ditunggu yaitu sharing kepenulisan bareng Mas
Agus Noor. Yeeah!
Eh,
sebelumnya aku sama sekali belum pernah lihat rupa beliau. Jadi yang aku
bayangkan Mas Agus Noor itu seorang bapak-bapak sedikit gendut, berambut cepak,
suaranya lembut kaya kalau bapak lagi nasehatin anaknya. Itu bayanganku!
Etdah,
waktu lihat aslinya beda banget. Ternyata beliau jangkung, berambut gondrong,
berkacamata pula dan enggak gendut. Kalau suara si emang lembut menurutku.
Pakaiannya juga santai.
Mas Agus
Noor memberi materi soal sudut pandang penceritaan, mencari cerita yang otentik.
Apa cerita yang otentik itu? Menceritakan sesuatu dengan sudut pandang baru. Kuncinya
: cobalah berpikir apa yang orang lain
tidak pikirkan.
Kami juga disuruh mencari kata kuci yang menarik dari kata “kakus” lalu
deskripsikan. Pokoknya seru, dua jam jadi lewat begitu saja. Enggak kerasa.
Selain
materi dari Mas Agus Noor, peserta mendapat materi bimbingan online oleh Mbak
Rina. Nantinya, alumni #Kampus Fiksi yang serius akan dibimbing online untuk
membuat novel. Tentu ada syarat dan ketentuannya juga. Ini nih, salah satu istimewanya
ikut #KF. Semoga saja impian mempunyai novel solo bisa segera terwujud. Amin.
Semangat!
Lanjut deh
sesi terakhir yaitu penutupan. Nah, salah satu kata Pak Edy yang aku ingat
benar-benar (bukan berarti yang lain enggak, tapi maksudnya yang ini kayak jadi
cambuk), kurang lebih begini : kamu mau
ikut acara pelatihan menulis berapa kali pun tidak akan membuatmu mahir
menulis. Juga bertemu penulis terkenal pun tidak akan menjadikan kamu penulis.
Kalau kamu sendiri tidak berlatih dan hanya diam tidak memperbaiki teknik
menulismu.
Aku pribadi baru kali ini ikut acara pelatihan kepenulisan, tapi kata-kata
itu asli deh, ‘nyenthok’ banget.
Selama ini aku merasa masih belum istiomah menulisnya, masih Senin-Kamis,
bolong-bolong. Contohnya saja begini, lagi asyik menulis tiba-tiba pengin buka FB—niatnya cuma lima belas buat sekedar refresh—eh malah kebablasan. Nulisnya
lupa kesayikan FB. Selain itu masih suka nunda-nunda. Nanti lah habis mandi,
entar deh habis makan ujung-ujungnya enggak jadi semua.
Tapi aku
sudah berjanji pada diri sendiri, mulai saat ini harus lebih fokus dan harus
bisa memerangi rasa-rasa yang mengganggu dalam menulis. *ceilah*. Intinya sih
berusaha lebih baik dari yang lalu.
Penutup
kata, terima kasih untuk Pak Edy dan Penerbit DIVA Press yang telah mengadakan
acara super keren ini. Dulu, aku
berkeinginan kuliah di Jogja tapi enggak kesampaian. Dan akhirnya sekarang aku
bisa ‘kuliah’ juga di Jogja. Meski tidak menjadi mahasiswa di kampus ternama,
tapi jadi ‘mahasiswa’ di kampus keren bernama #KampusFiksi.
Teman-teman
#KF12 senang berjumpa kalian semua yang ternyata hebat-hebat dan sudah punya
prestasi ‘sip’. Semoga suatu saat nanti ketika bertemu kembali, kita sudah
membawa novel best seller
masing-masing. Amin-amin-amin.
#Kampus
Fiksi ... pasti bisa!
Banjarnegara, 3 April 2015
Kata-kata Pak Edi nonjok banget, pas kena ulu hati :D
BalasHapusBikin glodak banget deh, Mbak. ehehe
Hapus