Tradisi Takiran

 


Assalamualaikum....

Akhirnya bisa nulis di sini lagi. Semoga teman-teman dalam keadaan sehat wal afiat, ya.

Ngomong-ngomong, sekarang kan bulan Muharam atau Sura atau Asyura, ya. Di tempat teman-teman adakah #tradisi yang dilakukan di bulan ini? Di tempat saya ada, lho. Namanya tradisi takiran. Apa itu? Baca sampai akhir biar tidak penasaran lagi.

Setiap bulan Muharam atau Sura, di tempat saya, tepatnya Desa Karangsalam, Susukan, Banjarnegara, Jawa Tengah (deeuh lengkapnya) 😆, ada tradisi takiran. Tradisi ini dilaksanakan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan YME dan menyambut tahun baru Islam. Ada juga yang menyebutnya ruwat bumi atau sedekah bumi. Konon, kata 'takiran' berasal dari kata 'tata' yang artinya menata, dan 'pikiran'. Jadi, takiran bisa melambangkan menata pikiran di tahun yang baru ini. Masyarakat siap menyambut tahun baru dengan pikiran dan hati yang bersih dan lebih baik. Kurang lebih seperti itu. Selain itu, takiran juga sebagai bentuk sedekah makanan kepada sesama. Di bulan Muharam, kita memang dianjurkan untuk banyak bersedekah.

Apa saja acara saat tradisi takiran?

Biasanya sebelum takiran, ada rembug desa dari perangkat desa dan masyarakat untuk menentukan hari yang pas untuk takiran. Seringnya mengambil hari Jumat atau Selasa Kliwon menurut pasaran Jawa. Setelah ditentukan, saat hari H orang-orang akan membuat takir. Apa itu? Daun pisang yang dibentuk persegi panjang dengan ujung-ujungnya disemat dengan lidi. Nanti takir tersebut akan diisi makan berupa nasi di bagian bawah dan atasnya lauk-pauk yang terdiri dari sambal goreng, telur, olahan ayam, petai dan lainnya. Teman-teman bisa lihat bentuk takir seperti ini.


 

Namun, seiring berjalannya waktu, takir tidak hanya dari daun pisang. Masyarakat menggunakan piti atau besek kecil untuk wadah makanan. Ada juga yang lebih praktis menggunakan styrofoam atau mika. Ini contoh takir dengan piti dan styrofoam.


 

Selanjutnya, mereka akan membawa takir tersebut ke tempat berkumpul yang sudah ditentukan seperti  balai desa atau pertigaan/ perempatan jalan. 

Setelah doa bersama, masyarakat akan saling bertukar takir yang dibawa. Ada makna dalam acara tuka-menukar takir ini. Kegiatan ini melambangkan kita bertukar pikiran dengan orang lain. Selain itu kami juga mengumpulkan takir untuk diberikan kepada kaum dhuafa sebagai bentuk sedekah.



Biasanya selain membuat takir, ada acara ruwat bumi dengan pertunjukan wayang. Namun, untuk tahun ini karena ada pandemi, acara tersebut ditiadakan.

Nah, itulah sedikit cerita tradisi di tempat saya. Mungkin di tempat teman-teman ada juga tradisi serupa. Yuk, kita lestarikan tradisi yang ada. Sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agaam dan norma-norma yang berlaku. Agar tradisi kita tetap lestari dan anak-anak kita kelak bisa mengenalnya.

Terima kasih sudah berkenan mampir dan membacanya. Jaga kesehatan selalu.



Salam hangat,

Mamak Dhifa

03/09/20

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Terima kasih sudah meninggalkan komentar. Salam hangat.