“Aaaaaaaaa ....”
Jeritan bocah perempuan menggema ke penjuru kampung
pinggiran rel. Bocah itu masih menatap seongggok tubuh tanpa busana. Penuh
cabikan dan kepala terputar 180 derajat. Pandangan si bocah tak lepas dari
sosok di antara semak-semak. Mungkin terguncang dengan apa yang dilihatnya.
Sampai teman-teman sepermainannya datang, lalu beberapa berlari menjauh.
Memberi kabar pada penduduk kampung.
Seperti bau yang tersapu angin, secepat itu seluruh
kampung tahu penemuan mayat di balik dinding. Beragam gumaman meluncur dari
bibir mereka. Siapa yang tega melakukannya?
“Lastri yang malang ...,” gumam sesorang permpuan tua.
Sementara itu, bocah perempuan dituntun ibunya ke rumah. Pandangannya
kosong. Beberapa tangan menyodorkan segelas air putih. Ia tentu tak menyangka
acara bermainnya di lapangan akan seperti itu. Bocah perempuan itu hendak
mengambil bola kasti yang terlempar sampai ke balik dinding. Sebenarnya tak ada
yang istimewa dengan dinding sisa pagar itu. Di baliknya hanya semak dan
pepohonan pisang berhadapan dengan kali. Tapi apa yang dilihat si bocah
perempuan kali itu benar-benar di luar dugaannya.
***
Dua jam sebelumnya,
Lastri bergegas keluar rumah setelah membaca pesan singkat di telepon
selulernya. Langkahnya panjang-panjang. Bahkan ia tak menghiraukan sapaan ibu-ibu
yang bergerombol di rumah depan. Yang diinginkannya hanya satu. Menyelesaikan
urusannya dengan lelaki itu. Di balik dinding, lelaki itu sudah menunggunya.
***
Tiga hari yang lalu.
“Hoeeek ....”
Lastri kembali memuntahkan semua makanan yang baru saja masuk.
Sebelah tangannya memegang perut. Seperti ada sesuatu yang jejingkrakan di
dasar perutnya.
“Siapa ayahnya?”
Lastri berbalik. Mengelap sisa muntahan di bibir dengan
punggung tangan. Mirna sudah berdiri di belakangnya. Sebatang rokok terselip di
antara bibir merahnya. Lastri terbatuk. Asap rokok memenuhi kamar mandi mereka
yang sempit.
“Jangan biarkan anakmu lahir tanpa bapak.” Kepulan asap rokok mengenai wajah Lastri. “Aku
pergi dulu. Jaga rumah, jangan ke mana-mana.”
Lastri hanya menatap kepergian perempuan yang diakunya
sebagai ibu. Detik berikutnya ia sudah sibuk dengan perutnya yang bergolak.
***
Tepat sebulan sebelumnya, Lastri berjalan gontai
menyusuri jalanan kampung yang menyepi. Ia benar-benar merasa lelah hari ini.
Pekerjaannya dua kali lipat lebih banyak. Bahkan sampai selarut ini, ia masih
menyisakan pekerjaan untuk hari esok.
Lastri
kembali menguap. Rasanya ia ingin cepat-cepat sampai rumah. Tapi kakinya
seperti tak mau berkompromi. Sejak tadi berjalan, ia baru sampai lapangan.
Terjadinya
begitu tiba-tiba. Sebuah tangan membekap mulutnya.Lastri berusaha memberontak.
Tangan itu begitu kuat mendekapnya.
“Diam!”
Lastri
tidak asing dengan suaranya. Lastri terus meronta. Ia mencoba menggigit telapak
tangan yang membungkamnya. Menedang. Tapi, sosok itu terus membawanya ke balik
dinding.
Dengan
sekali hentakan, sosok itu menghempaskan Lastri pada semak-semak. Mata Lastri
membulat menyadari siapa yang telah menyeretnya.
“Kau—jangan
mendekat!”
Lastri
mengambil sebilah bambu. Menodongkan pada lelaki yang kini tertawa pongah.
“Sudah
lama aku menunggu kesempatan ini.”
Lelaki
bercambang itu mendekat. Lastri mundur perlahan. Lelaki itu berusaha meraihnya.
Mencoba mengoyak pakaiannya. Selanjutnya Lastri tidak ingat apapun. Semua
gelap.
***
Tiga bulan lalu saat Lastri baru saja beberes rumah, pintu
depan menjeblak. Mirna masuk bersama seorang
lelaki bercambang. Keduanya lengket berpelukan. Lastri menduga ia mangsa
baru Mirna. Buru-buru Lastri masuk kamar. Tapi belum sempat kakinya mencapai
pintu kamar, Mirna memanggilnya.
“Hei, kemari!”
Ragu-ragu,
Lastri berbalik dan menghampiri Mirna.
“Ini Bajja.” Mirna menyebut nama lelaki itu.
Lelaki bernama Bajja tersenyum. Tapi bagi Lastri senyum
itu lebih mirip seringai seekor serigala. Bajja mengulurkan tangan. Kalau saja,
Mirna tidak menatapnya tajam, Lastri takkan menyambut uluran tangan lelaki itu.
“Kau temani sebentar. Aku mau ke belakang.”
Tanpa menghiraukan jawaban Lastri, Mirna berjalan
sempoyongan ke kamar mandi. Sementara itu, mata Bajja tak lepas dari Lastri. Ia
terus mengamati tubuh perempuan muda di hadapannya. Daging segar, batinnya.
***
#NulisBarengAlumni #TemaDinding #AlumniKF12
Ini benar-benar dinding. Hehehe. :D
BalasHapusIdenya menarik.
Aku mau diskusi bagian ini >> " Tepat sebulan sebelumnya, Lastri berjalan gontai menyusuri jalanan kampung yang menyepi. Ia benar-benar merasa lelah hari ini."
Apakah kata 'ini' tidak sebaiknya jadi itu? Karena waktunya tepat sebulan sebelumnya, sementara ini lebih seperti menunjukkan present tense. Hehehe.
Salam kenal ya. Thankyou :D
Hai, Kak Dhamala. Makasih udah berkenan mampir. Salam kenal jugaa .
HapusIya nih beneran dinding. *polos banget*
Oh ya, lebih masuk dengan kata 'itu' juga ya? Oke-oke cuuuz sunting.
Boleh lah dikritisi yang lainnya juga? hehehe *nawar